KRISTUS JURUS’LAMATKU: MENATA KEHIDUPAN
Dipublikasikan pada 31 Maret 2024
5 min baca

Bacaan: Markus 16: 1-8

SELAMAT PASKAH! ”Jangan terkejut! Kamu mencari Yesus orang Nazaret, yang disalibkan itu. Ia telah dibangkitkan. Ia tidak ada di sini. Lihat! Inilah tempat mereka membaringkan Dia. Sekarang pergilah, katakanlah kepada murid-murid-Nya dan kepada Petrus: Ia mendahului kamu ke Galilea. Di sana kamu akan melihat Dia, seperti yang sudah dikatakan-Nya kepada kamu” (Mrk.16:6-7). Inilah berita “Seputar Paskah” yang cepat, tepat dan akurat, pada hari pertama minggu itu, pagi-pagi benar, setelah matahari terbit yang disampaikan kepada Maria Magdalena dan Maria ibu Yakobus, serta Salome. Tiga sosok perempuan yang datang ke kubur Yesus dan “hampir-hampir saja” terjebak dalam suasana “Sabtu Sunyi”, mereka ketakutan dan tidak dengan segera menyadari bahwa apa yang terjadi di hari pertama minggu itu adalah peristiwa penggenapan dari apa yang telah dikatakan Yesus jauh-jauh hari terkait karya penebusan dan keselamatan yang kekal itu. Terjebak antara Jumat Agung dan Paskah, artinya hidup dalam kesunyian dan duka yang mendalam, serta tidak menemukan Kristus yang bangkit dan menang di hidupnya.

Tiga sosok perempuan ini mewakili komunitas para murid, dan rasa-rasanya juga kita, betapa kita amat rentan dengan “jebakan” itu. Saat pergumulan yang berat datang menghampiri, lalu dalam pandangan kita harapan tampak sudah sirna, maka suramlah kehidupan (di sinilah kematian Kristus terjadi persis dalam kehidupan kita). Selanjutnya, hari-hari menjadi hari-hari duka, berbeban berat hingga kesunyian yang rasanya tiada pernah berakhir.

Dalam perjalanan menuju kubur Yesus, tiga perempuan itu bercakap. “Siapa yang akan menggulingkan batu itu bagi kita dari pintu kubur?” (ay.3). Rupanya batu penutup kubur itu merupakan sebuah penanda hadirnya perasaan pesimis, ketidakberdayaan. Marie Noonan Sabin menafsirkan batu penutup kubur itu adalah meterai kematian. Ditafsirkannya batu itu sebagai meterai kematian karena batu itu menjadi penghalang bagi mereka berjumpa dengan Yesus yang mereka kasihi. Kematian merupakan daya pemisah yang menakutkan bagi manusia. Di dalam kematian harapan sirna dan kehidupan serasa suram.

Mengapa para murid pada hari itu masih tetap dicengkeram oleh perasaan hampa, sesal, tidak berdaya dan aneka perasaan lain yang membuat mereka limbung dan dibekap “suram dan sunyi”? Sangat mungkin hal ini disebabkan oleh suasana hati yang masih terjebak antara Jumat Agung dan Paskah. Mereka masih “senewen” atas kematian Kristus. Hatinya gundah gulana, pikirannya kacau, perasaannya dicekam ketakutan. Itu sebabnya topik percakapan dan fokus tindakan masih terus berkutat tentang kubur dan kematian.

Syukurlah, sekalipun dalam keadaan seperti itu, jalinan relasi tiga perempuan itu dengan Yesus tidak terputus. Jalinan relasi yang sudah terjalin sejak mereka sama-sama di Galilea memberikan dorongan kepada mereka pada untuk menunjukkan sikap batin yang tetap terhubung dengan Yesus. Dan karena itu, pagi-pagi mereka berangkat ke kubur. Lalu, terjadilah momen amat penting bagi kehidupan. Mereka berjumpa dengan Juruselamat yang bangkit.

Ketika mereka sampai di depan kubur, tampaklah batu yang memang sangat besar itu sudah terguling (ay.4). Ini kejadian yang sangat aneh dan di luar nalar. Tetapi para perempuan ini belum menunjukkan reaksi kaget. Para perempuan itu baru terlihat kaget saat mereka melihat adanya seorang muda yang memakai jubah putih duduk di sebelah kanan (ay.5). Kepada para perempuan itu disampaikan pesan, “Jangan takut”. Terbukanya kubur menegaskan dan menandai dibukanya meterai kematian menuju pada kehidupan. Kebangkitan menjadi gerak pembaharuan ketiga perempuan. Yesus bangkit menata kehidupan mereka dan kita, Selamat Paskah. Amin.

*Pdt. Setyahadi*

Bagikan
Artikel Lainnya
Lihat Artikel Lainnya
10 Orang Membaca