Bacaan: Roma 8:1-11
Saudari-saudara, pernahkah Anda tahu istilah ‘netizen mahabenar’? Kalau belum, izinkan saya menjelaskan secara ringkas dan terbatas. Pertama-tama, netizen merupakan akronim dari internet citizen atau bisa diterjemahkan sebagai warga internet. Karena begitu sering digunakan, maka kata netizen lebih sering diserap begitu saja tanpa dialih bahasakan.
Kemudian bagaimana bisa muncul istilah ‘netizen mahabenar’? Nah, di antara para netizen itu ada beberapa orang yang sering menyampaikan komentar. Memang tidak masalah berkomentar, namun menjadi masalah ketika komentar-komentar yang disampaikan bernada penghakiman. Dikatakan mahabenar, karena orang-orang menganggap para komentator ini sudah bersikap seperti Hakim di Persidangan dan bahkan melampaui para hakim. Mereka berkomentar ini dan itu seringkali bukan atas dasar kebenaran, namun bermodal pemikiran bahwa dirinya/ pandangannya-lah yang paling benar.
Orang-orang yang menjadi objek penderita dari netizen mahabenar begitu beragam. Tak hanya selebriti dan tokoh publik lain, orang biasa pun bisa berhadapan dengan para ‘netizen mahabenar.’ Ada orang yang dikomentari karena keadaan fisiknya – gemuk diejek, kurus diremehkan, tinggi dirasani, pendek dihina. Ada pula orang yang dikomentari karena etnisitasnya atau agamanya atau kebangsaannya. Sungguh melelahkan dan memprihatinkan.
Keberadaan netizen mahabenar ini memang baru ada di masa perkembangan internet ini, namun budaya untuk merasa diri paling benar dan berhak “menghukum” sesama nampaknya sudah ada sejak lama. Bahkan ada yang menyebut bahwa hal ini sudah membudaya, sebagai ‘budaya penghakiman.’
‘Budaya penghakiman’ tidak cocok dengan semangat Injil Kristus. Roma 8:1 menegaskan “Demikianlah sekarang tidak ada penghukuman bagi mereka yang ada di dalam Kristus Yesus.” Di dalam Kristus kita dibebaskan dari budaya penghukuman, dari posisi sebagai terhukum, dan dari mentalitas penghukum.
Namun Paulus pun menyadari, bahwa masih ada saja yang hidup dalam ‘budaya penghakiman’ atau ‘hidup menurut keinginan daging.’ Kata hidup menurut daging di sini bukan melulu soal jasmani ataupun duniawi. Sebab bagi Paulus, ‘hidup menurut daging’ adalah ketika orang cenderung mencari-cari alasan untuk menghukum orang lain.
Oleh sebab itu, Paulus mengingatkan dengan tegas bahwa orang Kristen – yang hidup di dalam Kristus – tidak hidup menurut budaya penghukuman tetapi ‘hidup menurut Roh.’ Roh yang bagaimana? Roh yang menghidupkan dan membawa kedamaian. Jadi, ‘hidup menurut keinginan Roh’ adalah gaya hidup yang melenyapkan nafsu menghukum, membebaskan orang dari perasaan berhak menghukum, maupun dari mentalitas terhukum.
Bagaimana bila kita berhadapan dengan orang yang jelas-jelas bersalah? Di sini Paulus ingin mengajak orang Kristen menyadari peran sebagai orang-orang yang selayaknya fasih mengampuni mereka yang bersalah. Bukan supaya mereka bebas dari konsekuensi kesalahannya. Namun karena kekuatan Roh Tuhan itu memang menghadirkan hidup dan damai sejahtera. Keinginan Roh itu akan menggerakkan orang untuk menolong mereka – yang bersalah – merasakan kemurahan Tuhan dan menyadari bahwa mereka adalah anak-anak Tuhan yang berharga di mata Tuhan. Kalau buat Tuhan seorang begitu berharga, mengapa ia tidak menghargai kesempatan hidup untuk berbuat yang benar.
Dengan kata lain, Paulus ingin Gereja Tuhan itu bisa benar-benar dapat dirasakan sebagai lingkungan yang mengampuni, menghargai, dan merangkul setiap orang. Lingkungan yang tidak bernafsu menjadi ‘netizen mahabenar’ bagi (baca: menghukum) siapa pun. Tetapi, Paulus ingin setiap kali orang datang ke Gereja, orang itu akan merasa tidak kerasan hidup dalam dosanya sehingga mau segera menjalani pertobatan dan hidup menurut keinginan Roh.
Dalam tuntunan Tuhan, kiranya kita berani mengupayakannya. Amin.
ypp