LEMAH LEMBUT, HORMAT & BERHATI NURANI YANG MURNI
Dipublikasikan pada 14 Mei 2023
7 min baca

Bacaan: 1 Petrus 3:13-22

Salah satu pemikiran yang sedang marak hari ini adalah “apa yang kamu lakukan akan kembali kepadamu.” Jika kamu berbuat jahat, maka kamu akan mendapatkan kejahatan. Demikian sebaliknya, jika kamu berbuat baik, maka kamu akan mendapatkan balasan kebaikan. Secara umum, pemikiran ini nampak benar, bahkan nampak sangat Kristiani sekali. Bukankah Alkitab juga mengajarkan hukum tabur tuai?

Memang benar bahwa Alkitab mengajarkan hukum tabur tuai. Namun satu hal yang seringkali dilupakan dari hukum ini adalah adanya Tuhan sebagai pribadi yang memberikan upah. Hukum tabur tuai tidak berjalan secara otomatis, tetapi sebagai cara Allah menegakkan kasih, kebenaran dan keadilan-Nya. Allah yang memberikan penghukuman atas semua kejahatan tanpa terkecuali (karena Ia adalah Allah yang mahakudus dan mahakuasa). Allah jugalah yang memberikan berkat bagi mereka yang hidup di dalam kebenaran-Nya.

Namun, satu hal yang Alkitab juga tidak pernah janjikan adalah waktu pemberian konsekuensi. Alkitab tidak pernah mengatakan bahwa konsekuensi itu akan segera diterima saat ini. Bahkan di dalam Alkitab, ada beberapa pengajaran yang menyatakan bahwa pemberian konsekuensi itu terjadi ketika seseorang sudah meninggal dunia (Lk. 16:19-31; Mat. 5:10-12, dsb).

Dalam nats firman Tuhan hari ini, Rasul Petrus memberikan sebuah pemaparan fakta yang berkebalikan dengan pengajaran populer yang biasa disebut karma. Dalam praktik kehidupan sehari-hari, ada banyak kebaikan yang tidak mendapatkan balasan kebaikan. Bahkan ada kebaikan yang justru mendapatkan balasan kejahatan atau penderitaan. Dalam ingatan Rasul Petrus pasti jelas teringat bagaimana pengalaman hidup dan pelayanan guru dan Tuhannya, Yesus Kristus, yang sudah melayani dengan sepenuh hati namun justru berujung dengan penderitaan, penyaliban dan kematian. Meski demikian, Yesus Kristus tetap memberi diri untuk melayani, bahkan sampai rela disalibkan sebagai pelayanan kasih penebusan dosa.

Maka berdasarkan nats hari ini ada dua hal yang diajarkan rasul Petrus sebagai dasar seseorang tetap melakukan kebenaran, firman Tuhan, meskipun mengalami konsekuensi yang tidak diharapkan, yakni penderitaan:

Pertama, kebenaran dan kebaikan harus dilakukan sebagai penghormatan dan kasih kepada Kristus.

Di ayat 15a, Petrus memberikan sebuah perintah, “Kuduskanlah Kristus sebagai Tuhan dalam hati.” Atau dapat pula dipahami “Tempatkanlah secara khusus Kristus sebagai tuan pemilik kehidupan dalam hati.” Penekanan utama ayat adalah Kristus itu sebagai tuan, bukan Tuhan (kurios bukan theos). Hal ini perlu dipahami dalam konteks budaya waktu itu, di mana tuan adalah pemilik kehidupan dan yang paling berotoritas dalam kehidupan hamba.

Dengan memberikan perintah ini, Petrus sebenarnya mengingatkan penerima suratnya mula-mula (termasuk kita hari ini) bahwa kehidupan dalam kebenaran dan kebaikan itu bukan dilakukan untuk mendapatkan sesuatu dan bukan ditujukan untuk mendapatkan respons dari orang lain. Kebenaran dan kebaikan itu dihidupi karena itulah perintah sang Tuan pemilik kehidupan kita, yang bukan sekadar sudah menciptakan tetapi juga sudah menebus dengan harga yang mahal, yakni pengorbanan Yesus Kristus. Kehidupan yang benar dan baik hanyalah respons kasih dan ketaatan yang ditujukan kepada Tuhan.

Yang menjadi pertanyaan perenungan apakah kita saat ini menyadari dan mengarahkan hati dan hidup kita kepada Tuhan? Atau pertanyaan serupa dalam bentuk kalimat yang lain adalah “Siapakah dan dalam posisi apakah Tuhan dalam kehidupan kita? Tuhan atau tuan pemilik kehidupan kita atau justru sebagai alat untuk mendapatkan kesenangan dan kenyamanan hidup?”

Kedua, kebenaran dan kebaikan tetap perlu dilakukan meski mendatangkan penderitaan karena kehidupan semacam inilah adalah kehendak Allah.

Jika kita membaca ayat 17 “Sebab lebih baik menderita karena berbuat baik, jika hal itu dikehendaki Allah, dari pada menderita karena berbuat jahat” ada kesan bahwa Allah menghendaki penderitaan. Pembacaan yang lebih tepat seharusnya Allah menghendaki kehidupan dalam kebenaran dan kebaikan meskipun mengandung konsekuensi penderitaan dan mengalami kejahatan. Maka itulah Petrus membuat penegasan bahwa lebih baik menderita karena berbuat baik daripada berbuat jahat. Sama-sama menderita namun berbeda alasan. Maka yang dikehendaki Tuhan bukan penderitaan (konsekuensi) tetapi alasannya (perbuatan baiknya).

Yang menjadi pertanyaan mengapa Allah membiarkan orang-orang benar mengalami konsekuensi penderitaan? Jawaban untuk pertanyaan ini sangat luas dan bisa diceramahkan panjang lebar. Namun dari kebenaran firman Tuhan ini ada satu penekanan yang diberikan rasul Petrus, yakni melalui kehidupan menderita karena kebenaran dan kebaikan, Allah akan menyatakan kebesaran dan kemenangan-Nya mengatasi kejahatan, penderitaan dan bahkan si jahat.

Hal inilah yang Petrus nyatakan dalam ayat 19-20. Terlepas dari banyaknya perbedaan pandangan tafsiran mengenai siapakah roh yang dimaksudkan, bagian firman ini hendak menyatakan Yesus yang sudah mati dan bangkit, Yesus mendeklarasikan (bukan memberitakan Injil) kemenangan-Nya atas maut dan penderitaan yang ditanggung-Nya. Sehingga, melalui kematian dan kebangkitan Yesus Kristus, Ia menegaskan dengan sangat jelas bahwa tidak ada kuasa penderitaan, maut, bahkan si jahat yang bisa menghentikan karya kebesaran dan kemuliaan Allah. Bahkan salib yang paling hina, di jadikan alat penebusan umat manusia. Apalagi, Petrus menambahkan, Ia kini sudah duduk di sebelah kanan Allah Bapa, di mana Ia memegang semua kuasa baik di Surga dan di bumi.

Hal inilah yang menjadi jaminan bagi umat Tuhan yang hidup menderita karena kebenaran. Hidup dalam penderitaan ini bukanlah hidup yang sia-sia, tetapi hidup yang dapat dipakai oleh Tuhan menjadi alat untuk menyatakan kebesaran-Nya.

Satu hal penekanan yang perlu diingat, penderitaan dan kejahatan yang dialami umat Tuhan yang melakukan kebenaran dan kebaikan itu tetap mendukakan dan menyedihkan. Allah tidak pernah bersuka akan hal ini (bdk. kisah kematian Lazarus yang juga Yesus tangisi). Tetapi, Allah dapat menggantikan dukacita yang dialami oleh umat Tuhan ini dengan sukacita, karena Ia memakai persembahan hidup benar dari umat-Nya untuk menyatakan kebesaran, kemuliaan, dan kemenangan-Nya.

Namun, bagaimana perbuatan baik dan hidup benar itu dapat menyatakan kemuliaan dan kemenangan-Nya? Dalam hal ini, Petrus menegaskan melalui ayat 15, “siap sedialah memberikan pertanggungan jawab kepada mereka yang meminta pertanggungan jawab,” Kata penting yang perlu diperhatikan adalah kata “siap sedialah.” Kata “selalu bersiap diri” ini mengindikasikan bahwa ada kalanya orang tidak meminta pertanggungan jawab atau orang tidak bertanya-tanya terkait iman, karena Allah yang menyatakan diri dengan sangat jelas. Tetapi ada kalanya, dan seringkali, Allah mengundang umat-Nya untuk memberitakan dengan lebih jelas mengenai “pengharapan yang ada padamu,” yakni Injil Yesus Kristus. Pembelaan (apologia) dilakukan bukan sebagai upaya menunjukkan kemenangan premis atau teologi Kekristenan, tetapi sebagai upaya yang lebih efektif dalam memberitakan Injil, sehingga kemuliaan dan kemenangan karya kasih Allah dalam Yesus Kristuslah yang ditinggikan dan dibesarkan.

Bagikan
Artikel Lainnya
Lihat Artikel Lainnya
17 Orang Membaca