KUASA ALLAH DALAM HIDUP KELUARGAKU
Dipublikasikan pada 01 Oktober 2023
4 min baca

Bacaan: Matius 21: 23-32

Yesus masuk ke Yerusalem dengan menerima puji-pujian (Mat.21:8-9), ‘membersihkan’ Bait Allah (Mat.21:12-13), menyembuhkan orang-orang buta dan orang-orang lumpuh (Mat.21:14), dan mengumpulkan banyak orang di Bait Allah dan mengajar di sana (Mat.21:23). Sederet hal yang Yesus lakukan ini menimbulkan pertanyaan dari para pemuka Yahudi. “Dengan kuasa manakah Engkau melakukan hal-hal itu? Siapakah yang memberikan kuasa itu kepada-Mu? (ay.23). Kata kuasa (Yun.exousia) merujuk pada hak atau otoritas melakukan sesuatu. Apa yang Tuhan Yesus lakukan bagi pemahaman orang Yahudi memang memerlukan otoritas khusus. Pengagungan orang banyak saat Tuhan Yesus masuk ke Yerusalem hanya layak diberikan kepada seorang raja. Penyembuhan orang sakit dan pengampunan dosa adalah hak Allah (band.Mrk.2:7). Dan tentunya aktifitas mengajar dan mengatur Bait Allah merupakan hak para pemuka agama. Bagi mereka yang mengenal asal-usul Tuhan Yesus sebagai anak tukang kayu, maka menjadi wajar jika mereka bertanya mengenai asal-usul kuasa yang dimiliki Tuhan Yesus dan siapa yang memberikan kuasa itu kepada-Nya.

Matius menuturkan bahwa Yesus dapat memberikan jawaban atas pertanyaan sulit ini dengan sangat cepat, tepat dan mengena. Dengan mengangkat apa yang dilakukan Yohanes Pembaptis, Tuhan Yesus menyatakan jawaban berwibawa dan penuh kuasa. Para pemuka agama dibuat tidak berkutik. Otoritas dan kuasa Allah nyata dalam jawaban Yesus. Apa yang membuat hal ini dapat terjadi? Tenang! Yesus tidak reaktif dan tidak emosional pada saat perbuatan baiknya dipertanyakan. Yesus tidak gampang tersinggung saat apa yang diperbuat dipertanyakan atau dipersoalkan. Ia sama sekali tidak merasa dituduh menggunakan kuasa yang bukan dari Allah. Ia percaya diri dan yakin bahwa yang dilakukan benar oleh karena segala yang dilakukan-Nya bertumpu pada kuasa Allah. Sebab itu, Ia tetap tenang menghadapi pertanyaan yang menyudutkan dan bernuanasa menuduh tersebut. Ketenangan Yesus menjadi sumber terjadinya kuasa Allah. Bila sebagai keluarga kita mau mengalami kuasa Allah, maka kita perlu belajar tenang menyikapi apa yang terjadi dalam kehidupan. Sikap tenang akan menjadi pintu terbukanya kuasa Allah.

Selain sikap tenang, kita juga bisa belajar dari perumpamaan tentang dua orang anak. Ketika diminta untuk pergi dan bekerja di kebun anggur pada hari itu, anak yang satu berkata: “Baik Bapa, namun ia tidak pergi”. Bila bicara saja tidak benar alias “NATO” (=No action talk only) bagaimana mungkin kuasa Allah dapat dinyatakan? (band. Mat.7:21). Pada saat yang sama, anak yang lain berkata: “Aku tidak mau, namun kemudian ia menyesal dan pergi”. Ini menarik karena memperlihatkan bahwa terkadang kita bisa melakukan kesalahan. Dan menarik pula karena segera diikuti dengan penyesalan. Hal ini menandakan kepekaan atas kesalahan dan kerendahan hati untuk segera berubah memperbaiki diri. Kuasa Allah pun dinyatakan pada orang-orang yang memiliki sikap seperti ini sebagaimana tergambar dari pemungut-pemungut cukai dan pelacur-pelacur yang percaya pada jalan kebenaran yang ditunjukkan, dan karena itu mendahului masuk ke dalam Kerajaan Allah. Bila bicara dan bertindak dapat kita lakukan dengan benar, niscaya kuasa Allah menyertai. Hal ini telah diteladankan oleh Yesus dan banyak tokoh Alkitab.

Rindukah kita mengalami kuasa Allah dalam kehidupan keluarga? Bersikaplah tenang, bicara dan bertindaklah dengan benar. Kuasa Allah pasti dinyatakan atas keluarga kita.

Amin.

*Pdt. Setyahadi

Bagikan
Artikel Lainnya
Lihat Artikel Lainnya
19 Orang Membaca