MENGHAMBA BAGI KELUARGA
Dipublikasikan pada 20 Oktober 2024
6 min baca

Bacaan: Markus 10: 35-45

Apa yang sering menjadi incaran banyak orang? Di tengah kekinian kehidupan ini, kita bersama-sama mengetahui bahwa ada aneka macam hal yang kerapkali menjadi incaran banyak orang. Akhir-akhir ini, pangkat dan kedudukan banyak menjadi incaran hingga viral di tengah masyarakat. Dua hal tersebut seolah menjadi standar kesuksesan yang terkadang dikejar tanpa peduli apa pun caranya. Celakanya, hal ini dapat terjadi bukan saja di dunia atau masyarakat umum, tetapi juga di lingkungan gereja.

Baru saja para murid cemas dan takut karena pernyataan akan penderitaan Tuhan Yesus (lih.Mrk.10:32), kini suasana berubah dalam sekejap. Injil hari ini bercerita tentang permintaan Yohanes dan Yakobus untuk duduk di sebelah kanan dan kiri Yesus, kelak dalam kemuliaan. Mereka meminta agar Yesus memberikan kedudukan yang terhormat kepada mereka (ay.35-37). Permintaan ini cukup beralasan, sebab mereka telah melihat segala sesuatu yang dikerjakan oleh Yesus dengan kuasa-Nya. Mereka yakin bahwa Yesus adalah Mesias yang dinantikan orang Yahudi. Dalam pengharapan Mesianik, bangsa Yahudi berpikir bahwa Mesias bukan hanya tokoh politis yang akan menegakkan kembali Kerajaan Daud, tetapi juga akan dimuliakan oleh Allah pada akhir zaman. Dengan pemahaman tersebut, Yohanes dan Yakobus yang memiliki kedekatan dengan Yesus merasa punya kesempatan besar. Mereka mengincar agar suatu kali kelak, saat Yesus dimuliakan, mereka turut serta dalam kemuliaan itu. Hal ini menunjukkan bahwa permintaan keduanya bukan sekadar sebuah inisiatif. Mereka menyadari adanya kesempatan. Mereka tidak mau melewatkan kesempatan ini. Mereka tidak mau kalau kesempatan itu jatuh pada orang lain. Hal ini kemudian memancing perdebatan dan keributan di antara para murid. Para murid yang lain marah, tentu bukan karena menyadari Yohanes dan Yakobus salah meminta. Sangat mungkin di dalam hati setiap murid ada keinginan yang sama, yaitu menjadi yang terbesar di antara rekan-rekannya.

Bagaimana respon Yesus? Ada tiga respon yang diberikan. Pertama, Yesus berkata: “Kamu tidak tahu apa yang kamu minta”. Kedua, Yesus mengingatkan bahwa mereka tidak sama dengan orang-orang di luar sana. Yesus memanggil mereka dan berkata: “Kamu tahu bahwa mereka yang disebut pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi, dan pembesar-pembesarnya menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Siapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan siapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, henndaklah ia menjadi hamba untuk semuanya”. Ketiga, Yesus mengajar dan menegaskan perihal prinsip menjadi yang terbesar, yaitu menjadi pelayan atau hamba bagi sesama. Yesus mencontohkan sendiri lewat pelayanan dan pengurbanan diri-Nya untuk keselamatan manusia bahwa Ia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani.

“Karena Anak manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (ay.45). Bagi Yesus, spiritualitas menjadi yang terbesar, yang terutama atau ter yang lain justru ada di dalam diri yang menghamba, diri yang rela mengosongkan diri agar dapat memberi ruang bagi yang lain dan menjadi penolong bagi yang lain. Dalam konteks ini, roh self centered, yang merujuk pada seseorang yang cenderung memfokuskan perhatiannya pada dirinya sendiri, mengabaikan atau kurang memerhatikan kebutuhan, perasaan dan perspektif orang lain, haruslah dijauhi. Egosentrisme, yaitu kualitas atau keadaan seseorang yang memberikan perhatian yang berlebihan pada diri sendiri, haruslah ditolak. Kata Yesus: “Jika seorang ingin menjadi yang pertama, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya”. Ini counter culture dari common culture.

Yesus berbicara perihal tujuan hidup, untuk apa hidup ini. Hidup ini adalah kesempatan untuk menjadi penolong. Dan ini hanya mungkin terjadi bilamana kita hidup dalam spiritualitas menghamba. Hanya dengan cara hidup menghamba bagi keluarga terbuka kesempatan hadirnya sosok-sosok penolong kehidupan di tengah keluarga. Spiritualitas menghamba menjadi model yang membuka ruang untuk menyelamatkan keluarga. Dan tentu, menghindarkan jatuhnya korban karena merasa kesepiaan, sendiri, dan tiada yang menemani.

Sudahkah kita menghamba bagi keluarga yang kita sayangi? Amin.

Bagikan
Artikel Lainnya
Lihat Artikel Lainnya
4 Orang Membaca