MEMILIH JALAN KEHIDUPAN
Dipublikasikan pada 12 Februari 2023
6 min baca

Bacaan: Matius 5:21-37

Charles Kimball, penulis buku "Ketika Agama Menjadi Bencana" menyatakan sebuah bahaya dari hidup beragama, yakni ketika pembacaan dan pemaknaan teks kitab suci dilakukan secara hurfiah dan dimaknai untuk kepentingan pribadi atau kelompok sendiri. Teks kitab suci tidak dilihat dan dipahami berdasarkan makna yang terkandung di dalam setiap pesan, yang sesungguhnya dimaksudkan Allah untuk memelihara kehidupan.

Tuhan Yesus menyatakan bahwa Ia datang bukan untuk meniadakan Hukum Taurat, melainkan untuk menggenapinya (5:17). Itulah sebabnya Ia mengajak para pendengar Khotbah di Bukit pada saat itu untuk menemukan makna sesungguhnya dan terdalam dari pernyataan Hukum Taurat.

Melalui pembacaan Alkitab pada hari ini, kita pun diajak untuk keluar dari kedangkalan dalam upaya untuk memahami Firman Allah. Mencari makna "sampai ke akarnya", kira-kira itulah semangat yang Tuhan Yesus ajarkan. Dia mengajak kita untuk mampu membedakan antara "Esensi" dan "Format". Format menunjuk pada apa yang nampak dari luar, yang mampu dilihat dan dibaca, sedangkan esensi menunjuk pada isi (substansi) serta semangat yang ada di dalam kemasan format.

Kehidupan keagamaan pada saat itu, diwarnai dengan jalan menafsirkan Hukum Taurat secara hurufiah dan menerapkannya secara legalistik. Para pemimpin agama sudah merasa tenang dan puas tatkala mereka melakukan perintah, ketetapan, dan hukum seperti yang tersurat. Namun ketenangan dan kepuasan semacam ini adalah semu, karena justru yang tersirat, seringkali diabaikan.

Setidaknya ada 3 hal yang disinggung oleh Tuhan Yesus dalam pembacaan Alkitab pada hari ini:

1. Tentang kemarahan yang menjadi akar dari pembunuhan

Mengenai larangan untuk membunuh ditempatkan dalam pemahaman mengenai betapa berharganya kehidupan yang Tuhan berikan. Di sini Tuhan Yesus membahas mengenai faktor penyebab mengapa orang sampai melakukan tindakan pembunuhan. Ternyata akar masalahnya adalah kemarahan yang tanpa sebab, yang tidak dapat dikendalikan atau diredam. Kemarahan yang demikian membuat seseorang melakukan tindak kekerasan, dalam bentuk kekerasan verbal: "kafir" (Aramik: rhaka, yang berarti (kepala) kosong - suatu hujatan yang mengatai orang sebagai "bodoh"), serta "jahil" (moros), yang menunjuk pada umpatan bodoh secara moral atau keagamaan, dan sangat mungkin berlanjut pada kekerasan baik secara fisik, maupun struktural, hingga tindakan membunuh.

Semua itu tidak akan terjadi jika kita mau berdamai dan memberi pengampunan kepada orang lain. Itulah sebabnya Tuhan Yesus mengatakan bahwa seseorang yang hendak beribadah kepada Allah, namun teringat akan suatu permasalahan dengan seorang saudara, maka ia harus meninggalkan persembahannya itu dan pergi untuk menyelesaikan permasalahannya serta berdamai dengan sesamanya terlebih dahulu.

2. Tentang hawa nafsu yang menjadi akar dari perzinahan dan perceraian

Bagi Tuhan Yesus, perzinahan bukan baru terjadi saat ada kontak secara seksual dengan seseorang yang bukan pasangan kita. Perzinahan sudah terjadi tatkala seseorang melihat seorang perempuan dan menginginkannya (Yun: epithumia - yang menunjuk pada nafsu birahi). Nafsu semacam ini menempatkan seks menjadi tujuan untuk mendapatkan kepuasan dan kenikmatan semata, dan bukan sebagai ekspresi kasih yang mendalam antara suami dan istri.

Permasalahan hawa nafsu yang sulit dikendalikan, bukan saja akan menggiring seseorang pada perzinahan, tetapi lebih jauh lagi menyebabkan persoalan perceraian. Dalam konteks masyarakat patrilineal, seorang laki-laki dapat dengan mudah menceraikan istrinya untuk alasan yang sederhana, seperti: tidak dapat memberikan keturunan atau tidak lagi tertarik dengan istrinya (karena tertarik dengan perempuan lain). Kita melihat adanya kesenjangan dalam posisi antara pria dan wanita di dalam perkawinan, dimana seorang laki-laki bisa bertindak dengan semena-mena kepada istrinya dengan menceraikannya. Dalam hal ini Tuhan Yesus memberi penegasan yang jelas tentang sikapNya terhadap perkawinan dan perceraian. Frasa "kecuali karena zinah" tidak boleh dipahami sebagai "pintu keluar" dari masalah dalam perkawinan yang kemudian dianggap memberi rekomendasi atau melegalkan perceraian, tetapi sebaliknya Tuhan Yesus justru hendak menempatkan pernikahan sebagai sesuatu yang berharga yang tidak boleh diperlakukan dengan sembarangan, apalagi karena masalah hawa nafsu yang tidak dapat dikendalikan.

3. Tentang integritas hidup yang menjadi akar masalah dari bersumpah

Permasalahan utama yang menyebabkan kita sampai membuat pernyataan sumpah, adalah karena orang lain seringkali meragukan (tidak dapat mempercayai) diri kita. Mengapa demikian? Karena ternyata banyak kali orang lain mendapati hidup kita tidak berintegritas! Sehingga dengan mudahnya kita bersumpah demi menyakinkan orang lain, agar mereka percaya kepada kita.

Bagi Yesus, seseorang tidak perlu sampai harus bersumpah, apalagi sebarangan bersumpah, kalau saja dia memiliki integritas di dalam dirinya, sehingga ia dapat dipercaya dan diandalkan. Karena itu Tuhan Yesus berkata, "Jika 'ya' katakanlah 'ya', jika 'tidak' katakanlah 'tidak'.

Inilah ketiga hal yang Tuhan Yesus kedepankan untuk mengajar pendengar khotbah di bukit dan juga kita yang hidup pada zaman ini, supaya hidup keagamaan kita tidak menjadi seperti "pepesan kosong", terlihat formatnya, namun kehilangan esensinya, terlihat bergairah, namun kehilangan kekuatan spiritualnya.

Pdt. Irwan Hidajat, S.Th, M.Pd - STT Amanat Agung - Jakarta

Bagikan
Artikel Lainnya
Lihat Artikel Lainnya
17 Orang Membaca