
Bacaan: Roma 12: 9-21
Ada beberapa arti kata perangai: sifat batin manusia yang memengaruhi segenap pikiran dan perbuatan, watak; cara berbuat, tingkah laku, kelakuan; cara khas seseorang dalam beraksi terhadap berbagai macam fenomena. Merujuk pada arti tersebut, kita dapat menjumpai dan mengenali bahwa di tengah kehidupan ini ada bermacam-macam perangai manusia. Tentu saja, selaku umat Tuhan kita ingin memiliki perangai yang berpadanan dengan perangai Tuhan. Perangai kita cocok sama perangai Tuhan. Untuk ini, kita perlu mengenali perangai Tuhan.
Sebelum Paulus menasihati jemaat Roma untuk hidup di dalam kasih, ia terlebih dahulu menasihati jemaat Roma supaya mereka mempersembahkan tubuh sebagai persembahan yang hidup, kudus dan berkenan kepada Allah dan supaya mereka tidak menjadi serupa dengan dunia ini. Adalah kemurahan Allah yang menjadi dasar nasihat ini. Mereka dipanggil untuk senantiasa membaharui budi dan melayani Tuhan sesuai dengan karunia yang diberikan kepada mereka. Karena itu, antara ayat 1-8 dengan ayat 9-21 terdapat kaitan yang sangat erat. Paulus ingin agar jemaat Roma mengimplementasikan persembahan tubuh melalui perangai hidup yang memberi makna dan relevan bagi orang lain.
Pertama, Mengasihi orang itu jangan pura-pura. Hendaklah kasih itu jangan pura-pura. Kasih yang ada di hati kita harus tulus dan jangan pura-pura (Yun: anhypokritos-unhypocritical, artinya munafik). Perangai yang tulus dan tidak palsu dalam berelasi dengan sesama adalah keniscayaan hidup umat Tuhan, sama seperti perangai yang dicontohkan oleh Yesus. Dalam hal ini, Paulus mengafirmasi bahwa dosa yang paling sering terjadi di kehidupan umat (gereja) adalah dosa kemunafikan, lain di bibir lain di hati. Kedua, semangat dalam melayani Tuhan. Dalam keadaan apapun, umat dipanggil untuk tetap rajin melayani, tidak boleh kendor. Walaupun ada kesulitan, roh harus tetap menyala-nyala dalam melayani Tuhan. Ketiga, senantiasa menjadi saluran berkat bagi orang lain. Paulus ingin agar umat Tuhan selalu menjadi berkat di segala situasi, bukan hanya di saat suasana hati senang dan merasakan hidup berlimpah baru menjadi saluran berkat bagi orang lain. Kepada mereka yang membutuhkan tumpangan, terulur tangan yang memberi tumpangan, bahkan terbuka tangan yang memberi berkat kepada mereka yang melukai, termasuk memberi makan seteru yang lapar. Keempat, memiliki sikap penguasaan diri. Penguasaan diri menjadi kunci kemenangan dari setiap persoalan yang sedang dihadapi, sehingga dalam keadaan apapun umat tetap dapat menyatakan hidup yang bermakna. Umat Tuhan harus menguasai diri supaya terhindar dari perasaan menganggap diri pandai, menguasai diri supaya tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Kelima, melakukan yang baik kepada semua orang. Tidak kalah terhadap kejahatan, dan sanggup mengalahkan kejahatan dengan kebaikan.
Sudahkan kita berperangai laksana Tuhan? Sudahkan kita memiliki hidup dan memberikan hidup yang bermakna dan relevan kepada orang-orang di sekeliling kita?
Amin.
*Pdt. Setyahadi