MENJADI TERANG DI TENGAH TOXIC COMMUNITY
Dipublikasikan pada 19 Maret 2023
5 min baca

Kata toxic dalam istilah zaman ini awalnya ditemukan pada hubungan pacaran dimana toxic relationship menggambarkan sebuah hubungan yang memiliki dampak buruk pada kesehatan mental seseorang. Beberapa psikolog-psikiater menyarankan pasangan agar segera mengakhiri hubungan pacarannya agar tidak semakin merusak kesehatan mental seseorang. Tetapi pada saat ini kata toxic itu tidak hanya berhenti dalam hubungan pacaran saja melainkan dalam relasi apapun. Tetapi perbedaannya, kita tidak akan pernah bisa kabur dari toxic people. Memang kita bisa keluar jika dalam konteks kelompok sosial tetapi selama kita tidak bertumbuh kita akan dihadapkan oleh Tuhan komunitas yang toxic kembali. Tentu bukanlah perjalanan yang mudah untuk menunjukkan terang di tengah komunitas toxic, mungkin kita akan kalah dengan suara komunitas sehingga kita dan enggan menunjukkan terang karena mungkin kita takut dicap "sok rohani" atau mungkin kerohanian kita akan diuji. Hal ini juga dialami oleh seorang yang buta sejak lahirnya dan disembuhkan oleh Yesus. Setelah ia disembuhkan Yesus, ia menghadapi tantangan dari orang-orang toxic di sekitarnya. Tetapi bagaimana ia menjadi terang di tengah orang-orang toxic tersebut?

1. Menjadi terang dengan menjadi diri sendiri dan tetap menyatakan terang dan kebenaran Allah kepada komunitas toxic

Setelah orang buta itu membasuh diri dari kolam siloam maka orang buta itu dapat melihat kembali. Tetapi para tetangga, teman-teman pengemis mempertanyakan keadaan itu padanya. Entah karena rasa iri atau heran maka orang-orang itu membawanya ke hadapan orang Farisi, karena anggapan pada zaman itu semua orang yang mengira jika penyakit itu kutukan Allah. Orang buta inipun menjawab kejadian yang dia alami dimana dia bertemu dengan Yesus lalu Yesus menyembuhkan orang buta ini. Semua orang menyangka jika Yesus dapat mengangkat kutukan dosa manusia. Kebetulan hari dimana orang buta itu disembuhkan adalah hari sabat, maka berbondong-bondonglah mereka datang kepada orang Farisi mempertanyakan hal yang sama. Maka orang Farisi ini menanyakan hal yang sama sekali lagi orang buta ini. Kita dapat melihat bahwa jawaban orang yang dahulu buta ini tetap sama seperti yang dikatakannya. Bisa kita simpulkan bahwa orang yang dahulu buta ini sukses membawa kemuliaan Tuhan sekalipun orang-orang toxic disekitarnya.

Mengapa orang buta ini dapat mampu membagikan cerita tersebut?

Dalam menyelesaikan sebuah permasalahan, kita mengetahui pola pikir: What: apa yang terjadi, why: mengapa masalahnya bisa terjadi (konteks terjadinya masalah), dan how: bagaimana cara masalahnya bisa diselesaikan. Kala itu pikiran orang Farisi hanya tahu jika orang buta ini disembuhkan Yesus (what) dan cara Yesus menyembuhkan orang buta ini pada hari sabat yang mereka persalahkan (how). Orang Farisi tidak memahami bahwa orang buta mengalami kondisi yang sulit sehingga sangat butuh ditolong. Sangat berbeda dengan Yesus dimana Ia menyembuhkan orang buta ini sampai "melanggar hari sabat" karena Yesus tahu konteks permasalahan yang dialami orang buta ini (Why). Inilah yang membuat orang buta ini mampu menghadapi orang-orang toxic disekitarnya dan tetap menjadi dirinya sendiri karena dia menyadari hanya Tuhan semata yang bisa memahami kondisinya.

2. Menjadi terang dengan siap menghadapi resiko

Dalam ayat ke 11 orang buta itu mengenal Yesus dengan mengatakan "orang yang disebut Yesus.." sementara dalam ayat ke 17 dikatakan disana" jawabnya, "Ia seorang nabi." Ini sebuah peningkatan progresi dimana orang buta ini mengalami tekanan dari orang-orang toxic tetapi ia tetap berani mengatakan Yesus adalah seorang nabi. Padahal dalam ayat selanjutnya, orang tuanya ini tidak berani mengakui anaknya disembuhkan oleh Yesus karena mereka dapat dikucilkan dari kelompok sinagoga. Hal ini sangat terkait dengan budaya timur-asia yang sangat lekat dengan budaya hormat dan malu (shame and honor culture). Termasuk orang tua dari orang buta ini juga menghindari pengucilan karena agar mereka menghindari rasa malu. Berbeda dengan orang tuanya, orang yang tadinya buta ini malah memberi kesaksian tentang Yesus kepada dirinya dan terlihat begitu siap menerima resiko yang ada.

Mengapa ia dapat begitu siap menghadapi resiko demikian?

Cara Yesus menyembuhkan orang buta ini terlihat begitu beresiko. Yesus menggunakan ludah yang notabene pada zaman dahulu penyembuhan menggunakan ludah adalah hal yang tidak lazim dan jorok. Dalam budaya Yahudi juga sangat anti dengan hal yang bersinggungan dengan hal yang jorok atau haram tetapi Yesus tetap melakukannya. Dari sini kita bisa belajar bahwa untuk menjadi terang seseorang harus siap untuk menanggung resiko.

Bagikan
Artikel Lainnya
Lihat Artikel Lainnya
23 Orang Membaca