Bacaan: Lukas 17:5-10
Hari ini kita memasuki Pekan Pertama dari Rangkaian Bulan Keluarga. Tema bulan keluarga GKI Emaus tahun ini “Keluarga Hidup Indah”. Melalui tema ini kita akan bersama-sama menggali makna kehidupan berkeluarga. Harapannya kemudian kita mampu menjalani hidup indah bersama keluarga. Hidup indah di sini bukan soal mementingkan tampilan indah apalagi bermewah-mewah (Flexing) dengan segala cara termasuk dengan jalan menipu sesama. Hidup indah bersama keluarga sejatinya adalah perjalanan hidup keluarga bersama dengan Tuhan demi menghasilkan dampak yang indah bagi dunia.
Sungguh indah saat hari ini kita mulai Bulan Keluarga ini dengan merenungkan sebuah nilai penting dalam kehidupan orang Kristen, yaitu memiliki karakter hamba. Yesus, dalam Lukas 17:7-10, telah menekankan bahwa pelayanan yang dilakukan oleh para murid hendaknya dilakukan dengan karakter hamba. Seorang dengan karakter hamba akan melakukan karya yang berguna dan membangun. Namun seorang dengan karakter hamba tidak mengharapkan upah atas kerjanya. Sebab seorang berkarakter hamba adalah ia yang selalu menyadari bila pekerjaannya dapat terlaksana dan berhasil baik itu hanya karena pertolongan dan penyertaan Tuhan. Itu pengajaran Yesus. Yesus bukan seorang “gajah diblangkoni” – yang bisa berkotbah namun tak mampu melakoni. Ketika Yesus mengajar tentang pentingnya karakter hamba yang rendah hati adalah Yesus yang memberikan hidup-Nya untuk memeragakan pengajaran-Nya. Yesus menjalani karya penyelamatan-Nya karena besarnya Cinta-Nya pada Bapa dan anak-anak-Nya. Hari ini kita akan merayakan Cinta-Nya melalui Perjamuan Kudus.
Saat kita rindu keluarga kita menjadi keluarga yang indah, keluarga yang berdampak indah bagi dunia, kita tentu mau menjalani hidup dengan karakter seorang hamba. Apakah seluruh anggota keluarga dapat hidup dalam karakter hamba? Oh tentu saja! Tak peduli kita suami, istri, ayah, ibu, anak, atau saudara, kita dapat hidup dalam karakter hamba. Seperti kisah yang ditulis Anthony de Mello dalam buku “Doa Sang Katak 1” berikut ini:
Dua bersaudara, yang seorang membujang, yang lain kawin, punya ladang, dengan subur menghasilkan limpah gandum. Separuh diberikan kepada saudara yang satu dan separuhnya kepada yang lain.
Semua berjalan baik pada awal. Lalu, terkadang saja, orang yang kawin mulai bangun terjaga dari tidurnya di waktu malam dan berpikir. Ini tidak adil. Saudaraku tidak kawin dan ia mendapatkan separoh hasil ladang. Di sini aku dengan Istri dan lima anak, jadi aku terjamin aman di masa tua. Tetapi siapa yang menjaga saudaraku celaka nanti, kalau ia jadi tua? Ia harus menyimpan lebih banyak bagi masa depan daripada sekarang, maka kebutuhannya jelas lebih besar dari pada saya. Dengan ini ia bangun tidur, diam-diam menyelinap ke tempat saudaranya dan memasukkan sekarung gandum dalam lumbung saudaranya.
Si bujang mendapatkan ilham sama di waktu malam juga. Kadang-kadang ia bangun dari tidurnya dan berkata pada dirinya: "Ini jelas tidak adil. Saudaraku punya istri dan lima anak dan ia mendapat separoh hasil tanah. Dan aku tidak punya tanggungan selain diriku sendiri. Maka tidak wajar saudaraku miskin, karena kebutuhannya jelas lebih besar dari saya, harus menerima tepat sama seperti saya." Lalu ia keluar dari tempat tidurnya dan memasukkan sekarung gandum di lumbung saudaranya.
Pada suatu hari mereka bangun tidur pada waktu sama, dan lari bertabrakan, masing-masing menggendong sekarung gandum!
Bertahun-tahun kemudian, sesudah mati, kisah itu diketemukan. Maka ketika orang sekota itu mau membangun kenisah mereka memilih tempat, di mana dua saudara bertemu, sebab mereka tidak bisa memikirkan tempat lain di kota, yang lebih suci daripada itu.
Perbedaan penting dalam agama itu bukan antara yang beribadah dan mereka yang tidak beribadah tetapi antara mereka yang mencinta dan yang tidak.
Kiranya Sang Cinta (Yesus Kristus) senantiasa menganugerahi kita dengan Cinta dalam keluarga kita agar kita terus dapat hidup indah dalam karakter hamba.
@yohanespp