KELUARGA YANG BERSUKACITA
Dipublikasikan pada 15 Oktober 2023
4 min baca

"Hal Kerajaan Sorga seumpama seorang raja, yang mengadakan perjamuan kawin untuk anaknya. (Mat. 22:2)

Orang yang mengadakan sebuah pesta adalah orang yang ingin membagikan kebahagiaannya kepada orang lain. Oleh karena itu, kehadiran para tamu undangan penting bagi si empunya pesta. Kehadiran mereka menjadi tanda bahwa sukacita dan kasih bertemu di antara dua pihak dalam sebuah relasi yang erat dan dekat. Bagi para tamu, undangan yang diberikan kepada mereka adalah tanda bahwa mereka berharga dan bernilai bagi si empunya pesta. Melalui undangan tersebut, para tamu menyadari bahwa ia juga diajak dalam sukacita si empunya pesta. Karena itu, ia mempersiapkan diri untuk datang ke acara pesta sebagai wujud kasih, hormat, dan syukur mereka atas undangan yang diterima.

Di dalam pembacaan Matius ini, Yesus memakai situasi pesta pernikahan untuk menjelaskan tentang Kerajaan Sorga. Allah digambarkan sebagai raja yang mengadakan pesta pernikahan sang anak, kemudian mengundang setiap orang untuk datang masuk ke dalam kegembiraan dan sukacita yang la ingin bagikan. Tetapi ternyata tidak semua orang yang diundang mau datang ke pesta tersebut untuk bersukacita bersama Allah. Siapakah orang-orang undangan yang dimaksud? Mereka adalah pendengar perumpamaan Yesus, yaitu imam-imam kepala dan orang-orang Farisi (21:45; 22:1, 15). Yesus menyebut mereka orang-orang munafik (hypokritai) pada 22:18; 23:13, 15, 23, 25, 27. Mereka mengajar Torah tetapi tidak melakukannya (23:3)

Respons para tamu undangan ini benar-benar mengecewakan raja. Walaupun mengundangnya beberapa kali dengan suguhan yang menggiurkan (3-4), mereka tidak mengindahkan undangan raja hanya karena bisnis dan aktivitas sehari-hari mereka. Bahkan mereka bertindak kejam dan sadis untuk menggagalkan segala rencana raja (5-6). Hal ini menunjukkan betapa degilnya hati manusia. Allah yang telah berinisiatif mencari manusia pun ditolaknya. Namun betapa fatalnya keadaan mereka pada akhirnya (7). Ketidakhadiran para tamu undangan tidak menyebabkan kegagalan pesta tersebut, karena raja kemudian mengundang orang-orang di jalanan untuk datang (9-10). Siapakah orang-orang di jalanan itu? Mereka adalah orang-orang non-Yahudi yang beroleh kesempatan untuk menikmati anugerah keselamatan dikarenakan penolakan umat Israel.

Lalu mengapa ada di antara mereka yang akhirnya juga ditolak hanya karena tidak memakai pakaian pesta? Apakah sebenarnya pakaian pesta itu? Sejarah penafsiran mencatat beragam arti pakaian pesta, di antaranya perbuatan baik (Irenaeus), kesucian tubuh (Tertulianus), kasih (Agustinus), iman yang mewujud dalam kasih (Luther, Calvin).

Tetapi ada satu orang tamu undangan yang datang tanpa mengenakan pakaian pesta (12). Nampaknya ia tidak merasa perlu mengenakan pakaian pesta. Hadir ke dalam pesta sudah cukup membuatnya puas diri. Tamu ini datang menghadiri perjamuan kawin dengan caranya sendiri.

Perumpamaan perjamuan kawin ini mencuatkan pesan bahwa kemunafikan tidak kompatibel dengan nilai-nilai kerajaan Allah. Kemunafikan tidak bisa hadir dalam persekutuan warga kerajaan Allah. Orang-orang munafik akan mendapat hukuman (13). Seperti diperlihatkan pemimpin agama Yahudi, orang munafik memperlihatkan ketidaksesuaian kehidupan antara perkataan dan perbuatan. Perkataan tidak diterjemahkan ke dalam perbuatan.

Perumpamaan ini menunjukkan bagaimana perkawinan adalah klimaks selebrasi sukacita. Suasana kebahagiaan pesta perkawinan ini menjadi gambaran kebahagiaan kerajaan sorga. Manusia dipanggil untuk turut serta masuk dan mengambil bagian di dalam kebahagiaan sebagai warga kerajaan sorga. “Berbahagialah mereka yang diundang (= dipanggil) ke perjamuan kawin Anak Domba” (Why. 19:9). Adakah kita merespon undangan ini dengan baik? Sudahkah kita membawa keluarga kita merespon undangan ini dengan baik? Semoga !

Bagikan
Artikel Lainnya
Lihat Artikel Lainnya
16 Orang Membaca